Saya hanya seorang gadis kampung yang ingin berbagi pengalaman dengan anda !!!

Rabu, 21 Oktober 2015

KEPEMIMPINAN DAN KEADILAN



KEPEMIMPINAN DAN KEADILAN

A. HAKIKAT KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk menyelesaikan tugas – Field Manual (22-100).


Ayat mengenai kepemimpinan :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي
ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور:55

” Dan Allah SWT telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs An Nur: 55)[1]







Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Ketiga kata yaitu pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan yang dijelaskan sebelumnya tersebut memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang
mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
1.       KRITERIA PEMIMPIN
Adapun kriteria pemimpin itu sendiri, yakni:
a. Pemimpin yang mukmin.
b. Tegas dalam menjalankan perintah Tuhan.
c. Takut kepada Allah swt sewaktu mengurusi orang-orang yang dipimpinnya.
d. Tidak menzalimi siapapun.
e. Tidak memerkosa hak-hak orang lain.
f. Menegakkan dan bukan melecehkan hudud Allah swt.

g. Membahagiakan rakyatnya dengan mengharap rida Allah swt.
h. Orang kuat di sisinya menjadi lemah sehingga si lemah dapat mengambil kembali haknya
yang direbut si kuat.
i. Orang lemah di sisinya menjadi kuat sehingga haknya dapat terlindungi.
j. Menampakkan kepatuhan kepada Allah swt dalam menetapkan kebijakan yang
berhubungan dengan hajat hidup orang banyak sehingga dirinya dan orang-orang yang
dipimpinnya merasa bahagia.
k. Semua orang hidup aman dan tenteram.
l. Sangat mencintai manusia, begitu pula sebaliknya.
m. Selalu mendoakan manusia, begitu pula sebaliknya. Kriteria di atas menjadi indikator bagi
pemimpin yang terbaik dan termulia di sisi Allah swt dan manusia.
1.      CIRI-CIRI PEMIMPIN MENURUT ISLAM
Adapun cirri-ciri pemimpin menurut islam adalah sebagai berikut :
1. NIAT YANG TULUS
Apabila menerima suatu tanggung jawab, hendaklah didahului dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Iringi hal itu dgn mengharapkan keredhaan-Nya sahaja. Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2. LAKI-LAKI
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
3. TIDAK MEMINTA JABATAN
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
      4. BERPEGANG DAN KONSISTEN PADA HUKUM ALLAH
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan jaganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dilucutkan dari jabatannya.
5. MEMUTUSKAN PERKARA DENGAN ADIL
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan keadaan terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
6. SENANTIASA ADA KETIKA DIPERLUKAN RAKYAT
Hendaklah selalu membuka pintu utk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat. Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin atau pemerintah yg menutup pintunya terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
7. MENASIHATI RAKYAT
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin yg memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasihati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk syurga bersama mrk (rakyatnya).”
8. TIDAK MENERIMA HADIAH
Seorang rakyat yg memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh kerena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
9. MENCARI PEMIMPIN YANG BAIK
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pembantu, yaitu pembantu yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pembantu yang menyuruh kpd kemungkaran dan mendorongnya ke sana.
 Maka org yg terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
      10. LEMAH LEMBUT
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yg mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
11. TIDAK MERAGUKAN RAKYAT
Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).
12. TERBUKA UNTUK MENERIMA IDE & KRITIKAN
Salah satu prinsip Islam adalah kebebasan bersuara. Kebebasan bersuara ini adalah platform bagi rakyat utk memberi idea atau kritikan kepada kerajaan & pemimpin agar sma mngembling tenaga & ijtihad kearah pembentukn negara yg maju. Saidina Abu Bakar berucap ketika dilantik menjadi khalifah, beliau menegaskan "..saya berlaku baik, tolonglah saya, dan apabila saya berlaku buruk, betulkn saya..", manakala Khalifah Umar prnah ditegur oleh seorang wanita ketika memberi arahan di masjid, dan beliau menerima teguran tersebut.
2.       SYARAT-SYARAT PEMIMPIN DALAM ISLAM
Ada 4 syarat untuk memjadi seorang pemimpin :
Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.. Allah adalah Malik al-Nas, pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus dipimpin oleh kepemimpinan Ilahiyah. Sistem hidup yang bersumber pada sistem ini disebut sistem Islam, sedangkan sistem yang tidak bersumber pada kepemimpinan Ilahiyah disebut kepemimpinan Jahiliyah. Hanya ada dua pilihan kepemimpinan Allah atau kepemimpinan Thagut.
Kedua, kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiah Allah dibumi adalah Nubuwwah. Nabi tidak saja menyampaikan Al-qanun Al-Ilahi dalam bentuk kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu sendiri. ”Seperangkat hukum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum dapat menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan pelaksana.” menurut Khomeini. Para Nabi diutus untuk menegakkan keadilan, menyelamatkan masyarakat manusia dari penindasan. Nabi telah menegakkan pemerintahan Islam dan Imamah keagamaan sekaligus.
Ketiga, garis Imamah melanjutkan garis Nubuwwah dalam memimpin ummat. Setelah zaman Nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah SAW, kepemimpinan ummat dilanjutkan oleh para imam yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Setelah lewat zaman Nabi, maka datanglah zaman Imam. Jumlah Imam ini ada 12 (dua belas), pertama adalah Imam Ali Bin Abi Thalin, dan yang terakhir adalah Muhammad ibn Al-Hasan Al Mahdi Al Muntazhar, yang sekarang dalam keadaan gaib. Imam Mahdi mengalami dua ghaibah, yakni ketika dia bersembunyi didunia fisik, dan mewakilkan kepemimpinannya kepada Nawab al-Imam (wakil Imam), dan ghaibah kubra, yaitu setelah Ali Ibn Muhammad wafat, sampai kedatangannya kembali pada akhir zaman. Pada ghaibah kubra inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih, hingga akhir zaman tiba.
Keempat, para faqih diberikan beban menjadi khalifah. Kepemimpinan Islam berdasarkan atas hukum Allah. Oleh karena seorang faqih haruslah orang yang lebih tahu tentang hukum Illahi.
"Orang yang layak menjadi pemimpin harus memenuhi empat syarat, yaitu :
1) berasal dari keturunan Quraisy;
2) memenuhi sejumlah syarat, seperti layaknya seorang hakim (qadhi), merdeka, akil, balig, berilmu, dan adil;
3) arif dalam urusan peperangan, politik, dan pelaksanaan hukum-hukum hudud sehingga rasa belas kasihannya tidak menghalanginya dari berbuat adil, serta memiliki sifat membela umatnya; dan
4) yang paling utama dalam ilmu dan agama di antara mereka.

3.       KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
Dalam ajaran agam Islam, hadits nabi menyebutkan bahwa setiap manusia adalah seorang pemimpin, apakah ia sebagai kepala keluarga, sebagai imam suatu umat, seorang wanita yang kedudukannya sebagai ibu rumah tangga dan bahkan seorang pembantu sekalipun ia adalah seorang pemimpin.
Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang berbunyi :Artinya : Abu Nu’man menceritakan hadits kepada kami, Hammad ibnu Zaid menceritakan hadits kepada kami dari Ayyub, dari Nafi’, dari Abdillah berkata: Rasulullah SAW. Bersabda “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban.
Oleh karena itu seorang imam adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban, dan seorang laki-laki adalah seorang pemimpin atas keluarganya, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban. Dan seorang wanita (istri) adalah pemimpin atas rumah suaminya dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban. Dan seorang hamba (pembantu) adalah pemimpin atas harta tuannya dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban.
Maka ingatlah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan akan diminati pertanggungjwaban atas kepemimpinannya” . Kecuali sebagai Nabi, Muhammad SAW. adalah pemimpin yang tangguh dan paling efektif. Segala macam kualitas yang dibutuhkan untuk tampil sebagai figur kepemimpinan berhimpun pada pribadi Muhammad SAW.. Kita dapat mencatat umpamanya beberapa hal persyaratan yang telah dimiliki beliau :
Beliau adalah pribadi yang mempunyai sifat-sifat terpuji, diantaranya adalah siddiq54. Selaku pimpinan beliau memiliki kesabaran yang tinggi ketika diuji dengan harta, dengan kedudukan dan dengan wanita. Beliau tangguh dan tidak tergoyahkan. Meski beliau memiliki pengetahuan, kecerdasan dan wawasan pandangan yang luas, namun beliau tidak meninggalkan musyawarah dan diskusi dengan para sahabatnya dalam memutuskan suatu perkara yang rumit. Bahkan lebih dari itu, terkadang ide orang lain bahkan ide musuh-musunya kalau dianggap baik beliau mengambilnya.
Hal ini dilakukan dengan prinsip nisfu aqlika fi ‘aduwwika yang artinya sebagian dari ide anda dapat diperoleh dari taktik atau gagasan musuh-musuhmu. Konsep kepemimpinan (leadership) dalam pandangan agama Islam berdasarkan firman Allah SWT. surat Al Baqoroh ayat 30 yang berbunyi :Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu kepada para Malaikat :”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi" (QS. Al Baqoroh, 30) Kandungan ayat tersebut menjelaskan nikmat-nikmat Allah SWT. yang dengan nikmat tersebut menjauhan dari maksiat dan kufur serta dapat memotivasi seseorang untuk beriman kepada Allah SWT.. Diciptakannya Nabi Adam AS. dalam bentuk yang sedemikian rupa disamping kenikmatan memiliki ilmu dan berkuasa penuh untuk mengatur alam semesta serta berfungsi sebagai khalifah Allah SWT. di bumi. Hal tersebut merupakan nikmat yang paling agung dan harus disyukuri oleh keturunannya dengan cara taat kepada Allah SWT. dan tidak ingkar kepadaNya, termasuk menjauhi kemaksiatan yang dilarang oleh Allah SWT.Sedangkan penjelasan dari ayat ini adalah bahwa sesungguhnya kami (Allah SWT.) akan menjadikan Adam sebagai khalifah dan pengganti makhluk lain yang dulu menghuni bumi, mereka itu telah musnah karena saling menumpahkan darah, sekarang Adam adalah pengganti mereka.
Sebagian mufassirin berpendapat yang dimaksud dengan khalifah disini adalah sebagai pengganti Allah Allah SWT. dalam memberikan perintah-perintah Nya kepada manusia. Karenanya, istilah yang mengatakan bahwa “manusia adalah khalifah Allah di bumi” sudah sangat populer. Pengangkatan khalifah ini menyangkut pula pengertian pengangkatan sebagian manusia yang diberi wahyu oleh Allah tentang syariat-syariat Nya. Pengangkatan khalifah ini juga mencakup seluruh mahluk (manusia) yang berciri mempunyai kemampuan berfikir yang luar biasa .
Berbicara tentang kepemimpinan dalam pandangan agama Islam, maka kita akan merujuk terhadap pribadi dan pola kepemimpinan yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad SAW. yang lebih dikenal dengan istilah uswatun khasanah yang artinya teladan yang mulia atau baik. Keteladanan nabi muhammad SAW. ini telah dijamin oleh Allah SWT. dengan firman Nya dalam Al Qur’an yang berbunyi :Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri taulada yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari qiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab, 21)
Keteladanan Nabi Muhammad SAW. sangat tepat jika dicontoh oleh manusia pada umumnya dan para pemimpin pada khsusnya. Pengaruh kepemimpinan beliau masih tetap kuat, dan bagi umat Islam beliau merupakan figure keteladanan yang paling utama dalam berbagai segi kehidupan.
Beliau dengan sangat teliti dan hati-hati mencontohkan semua perbuatan baik dan menjauhkan diri dari melakukan perbuatan buruk dengan sangat teliti dan jelas.
Sesungguhnya banyak hal yang bisa dijabarkan dari sifat Rasulullah SAW namun semoga 4 sifat teladan ini sungguh menjelaskan betapa sifat kepempimpinan beliau mengakar kepada kita walau beliau telah wafat beberapa abad yang lalu, sifat kepemimpinan beliau disegani kawan dan dihormati lawan sekalipun.
1. Shiddiq (Jujur). Ini adalah sifat kejujuran yang sangat ditekankan Rasul baik kepada dirinya maupun pada para sahabat-sahabatnya (Semoga kita juga meneladaninya).Adalah ciri seorang muslim untuk jujur. Sehingga Islam bukan saja menjadi sebuah agama namun juga peradaban besar.
2.Amanah(bisa dipercaya). Sifat ini ditanamkan khususnya kepada para sahabat yang ditugaskan di semua hal apa saja untuk bisa berbuat amanah, tidak curang (atau juga korupsi di zaman sekarang) dalam hal apa saja. Sesuatu yang sekarnag menjadi sangat langka di negeri muslim sekalipun (miris).
3. Tabligh (Menyampaikan yang benar). Ini adalah sebuah sifat Rasul untuk tidak menyembunyikan informasi yang benar apalagi untuk kepentingan umat dan agama. Tidak pernah sekalipun beliau menyimpan informasi berharga hanya untuk dirinya sendiri. Subhanallah.
4. Fathonah (Cerdas).Sifat Pemimpin adalah cerdas dan mengetahui dengan jelas apa akar permasalahan yang dia hadapi serta tindakan apa yang harus dia ambbil untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada umat. Dengan mengenal beberapa sifat tadi, kita mungkin bisa sedikit mengerti kenapa Seorang Rasulullah yang ummi (tidak bisa membaca) mampu menjadi seorang Nabi, Rasul,Kepala Keluarga, Ayah, Suami, Imam Shalat, Pimpinan Umat, Pimpinan Perang menjadi sangat sukses dalam setiap hal yang beliau geluti. Semoga menjadi landasan bagi kita dan para pemimpin muslim untuk mampu meneladani apa-apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

4.       HUBUNGAN KEPEMIMPINAN DENGAN AYAT
Adapun hubungan QS Yunus ayat 14 dengan Kepemimpinan, yakni :
1. Kalimat ”Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka,…”. Dalam kalimat ini mengandung makna bahwa setelah umat-umat yang terdahulu hancur. Maka Allah mengganti dengan umat Muhammad saw., umat yang mengikuti agama Islam, agama yang membawa manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
2. Kalimat “…supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. ” dimaksudkan bahwa Allah memberikan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu berhati-hati tentang apa yang akan dilakukan dan mengingat akan tugas-tugas yang diberikan Allah swt. kepada manusia sebagai khalifah Allah di bumi.[5]





Di antara tugas khalifatullah fil ardi ialah menegakkan hak dan keadilan di muka bumi, membersihkan alam ini dari perbuatan najis, syirik, fasik serta meninggikan kalimat Allah. Allah akan memperhatikan dan mencatat semua perbuatan manusia dalam melaksanakan tugasnya itu, apakah sesuai dengan yang diperintahkan-Nya atau tidak. Allah menjadikan kita sebagai khalifah di muka bumi, tidak lain hanyalah untuk melihat amal-amal kita, maka perlihatkanlah kepada Allah amalanamalan kita yang baik di malam dan di siang hari. Jika kita berlaku zalim pula seperti bangsa dahulu kala itu. Niscaya kita akan lenyap pula dari muka bumi.
Secara umum, seorang pemimpin berkewajiban menjalankan hal-hal sebagai berikut:
A. Menjaga agama agar tetap pada porosnya yang abadi. Seandainya muncul seorangmubtadi’ (yang mengada-ada dalam urusan agama), ia (pemimpin) harus menjelaskan kebenaran kepadanya, memberinya landasan dan menjalankan hak serta hudud agar agama tetap terlindungi dari kerancuan sekaligus mencegah umat dari ketergelinciran (ke jurang kesesatan).
B. Melaksanakan hukum dan memutuskan perkara pihak-pihak yang bertikai sehingga keadilan menjadi tegak, orang zalim tidak dapat berbuat seenaknya, dan orang yang dizalimi tidak merasa lemah.
C. Menjaga Islam dan menjamin keamanan agar orang-orang dapat saling berhubungan dan hidup dalam kondisi nyaman yang berhubungan dengan jiwa dan harta benda.
D. Menegakkan hudud demi menjaga dan melindungi hak-hak para hamba.
E. Melindungi kaum muslimin dengan benteng yang kokoh serta kekuatan yang mampu menangkal setiap serangan musuh-musuh yang sangat berpotensi menghancurkan atau menumpahkan darah kaum muslimin atau orang-orang nonmuslim yang berada di bawah perlindungan pemerintahan Islam.
F. Melancarkan jihad terhadap orang yang telah diberi keterangan tentang ajaran Islam namun kemudian melakukan penentangan-sampai dirinya memeluk Islam atau memilih di bawah tanggungan pemerintah Islam.
G. Menyertakan orang-orang terpercaya (amanah) dalam pemerintahannya serta mengikuti nasihat orang-orang yang layak menasihati. Ini dimaksudkan agar kecakapan dijadikan tolak ukur pemberian amanat dan harta kekayaan dapat terlindungi.[6]


B. KEADILAN
     1. DEFENISI KEADILAN
            Adil menurut pengertian umum yaitu tidak berat sebelah , dengan kata lain adil adalah memperlakukan atau menimbang sesuatu dengan cara serupa. Ia menyangkal soal sikap hidup atau perilaku serta mempunyai hubungan erat dengan soal kejiwaan. Dilihat dari sudut pembahagian kerangka pokok ajaran islam , adil termasuk dalam ruang lingkup akhlak . sebagai mana yang dilansirkan oleh ayat :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90)
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi kepada kamu kerabat, dan Allah  melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS.AN-NAHL : 90)
Jadi , pada dasarnya keadilan adalah nilai utama akhlak muslim yang bersikap adil kepada siapapun tanpa mengira tempat dan masa.
Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan keadilan pada setiap tindakandan perbuatan yang dilakukan (Qs. an-Nisaa (4): 58):
Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan ama- nat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Dalam Al-Qur’an Surat an-Nisaa ayat 135 juga dijumpal perintah kepada orang-orang yang beriman untuk menjadi penegak keadilan, yaitu:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benarpenegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau Ibu, Bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia, kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemasalahatanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dan kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segalanya apa yang kamu lakukan’
Perintah untuk berlaku adil atau menegakkan keadilan dalam menerapkan hukum tidak memandang perbedaan agama, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat asSyuura (42) ayat 15, yakni:
Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah:
“Aku beriman kepada semua kitab yaig diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kebali (kita).
Begitu pentingnya berlaku adil atau menegakkan keadilan, sehingga Tuhan memperingatkan kepada orang-orang yang beriman supaya jangan karena kebencian terhadap suatu kaum sehingga memengaruhi dalam berbuat adil, sebagaimana ditegaskan dalam A1-Qur’an Surat al-Maidah (5) ayat 8, yakni:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu Untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [7]
Keadilan dalam sejarah perkembangan pemikiran Filasafat Islam tidak terlepas dan persoalan keterpaksaan dan kebebasan. Para Teolog muslim terbagi dalam dua kelompok, yaitu Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan dan kebebasan, sedangkan Kaum Asy’ari yang membela keterpaksaan.
 Kaum Asy’ari menafsirkan keadilan dengan tafsiran yang khas yang menyatakan Allah itu adil, tidak berarti bahwa Allah mengikuti hukum-hukum yang sudah ada sebelumnya, yaitu hukum-hukum keadilan tetapi berarti Allah merupakan rahasia bagi munculnya keadilan. Setiap yang dilakukan oleh Allah adalah adil dan bukan setiap yang adil harus dilakukan oleh Allah, dengan demikian keadilan bukan lah tolok ukur untuk perbuatan Allah melainkan perbuatan Allahlah yang menjadi tolok ukur keadilan. Adapun Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan berpendapat bahwa keadilan memiliki hakikat yang tersendiri dan sepanjang Allah mahabijak dan adil, maka Allah melaksanakan perbuatannya menurut kriteria keadilan.
Murtadha Muthahhari mengemukakan bahwa konsep adil dikenal dalam empat hal; pertama, adil bermakna keseimbangan dalam arti suatu masyarakat yang ingin tetap bertahan dan mapan, maka masyarakat tersebut harus berada dalam keadaan seimbang, di mana segala sesuatu yang ada di dalamnya harus eksis dengan kadar semestinya dan bukan dengan kadar yang sama. Keseimbangan sosial mengharuskan kita melihat neraca kebutuhan dengan pandangan yang relatif melalui penentuan keseimbangan yang relevan dengan menerapkan potensi yang semestinya terhadap keseimbangan tersebut. Al-Qur’an Surat ar-Rahman 55:7 diterjemahkan bahwa: “Allah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan)”.
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa, yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah keadaan alam yang diciptakan dengan seimbang. Alam diciptakan dan segala sesuatu dan dan setiap materi dengan kadar yang semestinya dan jarak-jarak diukur dengan cara yang sangat cermat. Kedua, adil adalah persamaan penafian terhadap perbedaan apa pun. Keadilan yang dimaksudkan adalah memelihara persamaan ketika hak memilikinya sama, sebab keadilan mewajibkan persamaan seperti itu, dan mengharuskannya. Ketiga, adil adalahmemelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Keadilan seperti ini adalah keadilan sosial yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu diperintahkan untuk menegakkannya. Keempat, adil adalah memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi.[8]

Konsepsi keadilan Islam menurut Qadri mempunyai arti yang lebih dalam daripada apa yang disebut dengan keadilan distributif dan finalnya Aristoteles; keadilan formal hukum Romawi atau konsepsi hukum yang dibuat manusia lainnya. Ia merasuk ke sanubari yang paling dalam dan manusia, karena setiap orang harus berbuat atas nama Tuhan sebagai tempat bermuaranya segala hal termasuk motivasi dan tindakan. Penyelenggaraan keadilan dalam Islam bersumber pada Al-Qur’an serta kedaulatan rakyat atau komunitas Muslim yakni umat.
Makna yang terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah menempatkan sesuatu pada tempatnya, membebankan sesuatu sesuai daya pikul seseorang, memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya dengan kadar yang seimbang. Prinsip pokok keadilan digambarkan oleh Madjid Khadduri dengan mengelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu aspek substantifdan prosedural yang masing-masing meliputi satu aspek dan keadilan yang berbeda. Aspek substantif berupa elemen-elemen keadilan dalam substansi syariat (keadilan substantif), sedangkan aspek prosedural berupa elemen-elemen keadilan dalam hukum prosedural yang dilaksanakan (keadilan prosedural).[9]
Manakala kaidah-kaidah prosedural diabaikan atau diaplikasikan secara tidak tepat, maka ketidakadilan prosedural muncul. Adapun keadilan substantif merupakan aspek internal dan suatu hukum di mana semua perbuatan yang wajib pasti adil (karena firman Tuhan) dan yang haram pasti tidak adil (karena wahyu tidak mungkin membebani orangorang yang beriman suatu kezaliman). Aplikasi keadilan prosedural dalam Islam dikemukakan oleh Ali bin Abu Thalib pada saat perkara di hadapan hakim Syuraih dengan menegur hakim tersebut sebagai berikut:
1. Hendaklah samakan (para pihak) masuk mereka ke dalam majelis, jangan ada yang didahulukan.
2. Hendaklah sama duduk mereka di hadapan hakim.
3. Hendaklah hakim menghadapi mereka dengan sikap yang sama.
4. Hendaklah keterangan-keterangan mereka sama didengarkan dan diperhatikan.
5. Ketika menjatuhkan hukum hendaklah keduanya sama mendengar.
Sebagai penutup uraian tentang keadilan dan perspektif Islam, saya mengutip pendapat Imam Ali sekaligus sebagai “pemimpin Islam tertinggi di zamannya” beliau mengatakan bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip yang signifikan dalam memelihara keseimbangan masyarakat dan mendapat perhatian publik. Penerapannya dapat menjamin kesehatan masyarakat dan membawa kedamaian kepada jiwa mereka. Sebaliknya penindasan, kezaliman, dan diskriminasi tidak akan dapat membawa kedamaian dan kebahagiaan.[10]




[1] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta,2002

[2] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta, hlm 423

[3] Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al-huda, Jakarta 2005, hlm 18

[4] Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al-huda, Jakarta 2005.hlm 56

[5] Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka Zahra, Jakarta, 2002, hlm 63 - 70

[6] Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka Zahra, Jakarta, 2002, hlm 63
Sayyid Quthb, Keadilan Sosial Dalam Islam, 1994: Bandung: Pustaka, hlm.25

[7] Hamka, Tafsir Al-azhar Jus V, 1983, Jakarta: Putaka Panji Mas, hlm. 125.

[8] Sayyid Quthb, Keadilan Sosial Dalam Islam, 1994: Bandung: Pustaka, hlm.342
[9] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam, 1995, Bandung: Mizan, hlm 53-58.

[10] AA. Qadri, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan Dalam Sejarah Pemerintahan Muslim, 1987, Yogyakarta: PLP2M, hIm. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar