BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Untuk mengukur keberhasilan perekonomian suatu negara
salah satunya dapat dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) dapat diukur dari kenaikan
besarnya pendapatan nasional (produksi nasional) pada periode tertentu. Oleh
karena itu, nilai dari pendapatan nasional (national income) ini
merupakan gambaran dari aktivitas ekonomi secara nasional pada periode
tertentu.
Tingginya tingkat pendapatan nasional dapat
mencerminkan besarnya barang dan jasa yang dapat diproduksi. Besarnya kapasitas
produksi tersebut dapat menunjukkan tingginya tingkat kemakmuran masyarakat
dalam suatu negara. Baik negara yang sedang berkembang maupun negara-negara
maju, semua mengiginkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pendapatan Nasional (national income) merupakan tolak ukur yang paling baik untuk
menunjukkan keberhasilan dan kegagalan perekonomian suatu negara, dari tingkat
kesempatan kerja, tingkat harga barang, dan posisi neraca pembayaran luar
negeri, serta pendapatan per kapitanya. Jika faktor-faktor yang memengaruhi
tersebut menunjukkan posisi yang sangat menguntungkan atau positif, maka
tingkat keberhasilan atau tingkat kemajuan ekonomi suatu negara akan mudah
tercapai, dan begitu pula sebaliknya.
Dalam perhitungan ekonomi Islam terdapat prinsip yang
harus dipegang teguh dalam perhitungan pendapatan nasional agar tujuan negara
dapat terlaksanakan dengan baik dan masyarakat mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam bernegara.
B.
Rumusan Masalah
·
Bagaimana
konsep pendapatan nasional dalam perspektif ekonomi Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendapatan Nasional
Pendapatan Nasional adalah jumlah pendapatan yang
diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga di suatu negara dalam kurun waktu
tertentu dari faktor-faktor produksi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat
diukur dengan melihat pendapatan nasionalnya. Pendapatan nasional diukur
dengan Produk Nasional Bruto (Gross
National Product), yaitu jumlah seluruh jumlah barang dan jasa yang
dihasilkan oleh suatu negara dalam kurun waktu satu tahun, diukur menurut harga
pasar negara tersebut. Terdapat 3 pendekatan dalam mengukur besarnya GNP, yakni
dihitung berdasarkan:
1. Pengeluaran untuk membeli barang
dan jasa.
2. Nilai barang dan jasa akhir.
3. Dari pasar faktor produksi dengan
menjumlahkan penerimaan yang diterima oleh pemilik faktor produksi (upah +
bunga + sewa + keuntungan).
Pendapatan nasional yang merupakan ukuran terhadap aliran uang dan barang
dalam perekonomian dapat dihitung dengan tiga pendekatan,yaitu :
a) Pendekatan produksi (production Approach)
Pendapatan nasional dengan pendekatan produksi (Gross Domestic Product),
pendekatan ini diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto (gross value
added) dari semua sector produksi. Penggunaan konsep nilai tambah dilakukan
guna menghindari terjadinya perhitungan ganda (double-Count).
b) Pendekatan pendapatan (income Approach)
Pendapatan nasional dengan pendekatan pendapatan (Net National
Product/NNP), berbeda dengan GNP, maka NNP merupakan GNP dikurangi
penyusutan dari stok modal yang ada selama periode tertentu. Penyusutan merupakan ukuran dari bagian GNP yang harus
disisihkan untuk menjaga kapasitas produksi dari perekonomian.
c) Pendekatan pengeluaran (expenditure Approach)
Perhitungan pendapatan nasional
dengan pendekatan pengeluaran dilakukan dengan menjumlahkan permintaan akhir
unit-unit ekonomi,yaitu :
1.
Rumah tangga
berupa konsumsi (consumtion/C)
2.
Perusahaan
berupa investasi (investmen/I)
3.
Pengeluaran
Pemerintahan (government/G)
4.
Pengeluaran
ekspor dan impor (export-import/X-M)
Perhitungan pendapatan nasioanal dengan pendekatan uni
biasa dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :
Y=C+I, untuk perekonomian tertutup tanpa peranan
pemerintah.
Y=C+I+G, untuk perekonomian tertutup dengan peranan
pemerintahan
Y= C + I + G + X-M, untuk perekonomian terbuka
B. Pendapatan
nasional dalam Perspektif Ekonomi Islam
Pendekatan
ekonomi konvensional menyatakan GDP atau GNP Rill dapat dijadikan sebagai suatu
ukuran kesejahteraan ekonomi (measure of
economic welfere) atau kesejahteraan pada suatu negara. Pada waktu GNP
naik, maka diasumsikan bahwa rakyat secara materi bertambah baik posisinya atau
sebaliknya, tentunya setelah dibagi dengan jumlah penduduk (GNP per kapita).
Kritik terhadap GNP sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi muncul dan para
pengkritik mengatakan bahwa GNP/kapita merupakan ukuran kesejahteraan yang
tidak sempurna.[1][2] Sebagai
contoh, jika niali output turun sebagai akibat orang-orang mengurangi jam kerja
atau menambah waktu leisure/istirahatnya
tentu hal itu bukan menggambarkan keadaan orang itu menjadi lebih buruk.
Bagaimana
ekonomi islam mengkritis perhitungan GDP rill/kapita yang dijadikan sebagai
indikator bagi kesejahteraan suatu negara? Satu hal yang membedakan sistem
ekonomi islam dengan sistem ekomoni lainnya adalah pengunaan parameter falah.
Falah adalah kesejahteraan yang hakiki,
kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dimana kompenen-komponen rohaniah masuk ke
dalam penegertian falah ini.
Ekonomi islam merupakan sebuah sistem yang
dapat mengantar umat manusia kepada real
welfare (falah), kesejahteraan yang sebenarnya. Maka dari itu, selain harus
memasukan unsur falah dalam
menganalisis kesejahteraan, perhitungan pendapatan nasional berdasarkan islam
juga harus mampu mengenali bagaimana interaksi-interaksi instrumen-instrumen
wakaf, zakat, dan sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan umat.
Pada
intinya, ekonomi islam harus mampu menyediakan suatu cara untuk mengukur
kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan
sosial islam. Setidaknya ada empat hal yang semestinya bisa diukur dengan
pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi islam. Empat hal tersebut
adalah
a. Pendapatan
Nasional harus dapat mengukur penyebaran pendapatan individu Rumah Tangga
Jika
penyebaran pendapatan individu secara nasional bisa dideteksi secara akurat,
maka akan dengan mudah dikenali seberapa besar rakyat yang masih hidup dibawah
garis kemiskinan. Ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhuyono memberikan
Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rakyat miskin, terjadi banyak
ketidakpuasan, karena daftar yang nyata dari rakyat yang dikategorikan miskin
sesungguhnya sangat tidak akurat. Perhitungan dari BPS didasarkan pada survei
yang kurang mencerminkan kenyataan sesungguhnya, sementara angka GNP memang
tidak dapat digunakan untuk mendeteksi jumlah penduduk miskin. Demikian pula
GNP tidak mampu mendeteksi kegiatan produksi yang tidak ditransaksikan di
pasar. Itu artinya kegiatan kegiatan produktif keluarga yang langsung di
konsumsi dan tidak memasuki ke pasar tidak tercatat di dalam GNP. Padahal
kenyataan ini sangat mempengaruhi kesejahteraan individu. Sesungguhnya angka
ini bisa diperoleh melalui satu survei nasional yang menyeluruh. Pendapatan perkapita
yang diperoleh melalui survei demikian, bisa diduga, akan menghasilkan angka
yang lebih besar ketimbang GNP per kapita.
b.
Pendapatan
Nasional Harus dapat Mengukur Produksi di Sektor Pedesaan
Sangatlah
disadari bahwa tidaklah mudah mengukur secara akurat produksi komoditas
subsistem, namun bagaimanapun juga perlu satu kesepakatan untuk memasukan angka
produksi komoditas yang dikelola secara subsistem ke dalam perhitungan GNP.
Satu contoh betapa tidak sempurnanya perkiraan produksi komoditas subsistem ini
adalah, kita tidak pernah benar-benar mengetahui berapa sesungguhnya pendapatan
masyarakat desa dari sektor subsistem. Oleh karena itu, kita juga tidak
mengetahui sekarang ini kondisinya dan apakah sedang naik atau malah sedang
turun. Padahal informasi itu sangat dibutuhkan pembuat kebijakan untuk
mengambil keputusan, khususnya berkaitan dengan tingkat kesejahteraan rakyat
lapisan bawah yang secara masa memiliki jumlah tersebar.
c.
Pendapatan
Nasioanal Harus dapat mengukur kesejahteraan Ekonomi Islam
Kita sudah
melihat bahwa angka rata-rata perkapita tidak menyediakan kapada kita informasi
yang cukup untuk mengukur kesejahteraan yang sesungguhnya. Sangat penting untuk
mengekpresikan kebutuhan efektif atau kebutuhan sadar akan bareng dan jasa,
sebagai persentase total
konsumsi. Hal itu perlu dilakukan karena, kemampuan untuk menyediakan kebutuhan
dasar seperti pangan, perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih,
rekreasi dan Pelayanan publik, sesunggunya bisa menjadi ukuran bagaimana
tingkat kesejahteraan dari suatu negara atau bangsa.
Beranjak dari definisi konsumsi yang
ada selama ini, menurut Nordhaus dan Tobin
membagi jenis konsumsi kedalam tiga kategori :
1)
Belanja
untuk keperluan publik, seperti membuat jalan, jembatan, jasa polisi dan
lain-lain.
2)
Belanja
rumah tangga, seperti membeli TV, mobil, dan barang-barang yang habis dipakai
3)
Memperkirakan
berkurangnya kesejahteraan sebagai akibat urbanisasi, polusi, dan kemacetan.
d.
Penghitungan
pendapatan Nasional sebagai ukuran dari kesejahteraan sosial islami melalui
pendugaan Nilai santunan saudara dan sedekah
Kita tahu bahwa GNP
adalah ukuran
moneter dan tidak memasukkan transfers payments seperti sedekah. Namun haruslah
disadari, sedekah memiliki peran yang signifikan di dalam masyarakat islam. Di
dalam masyarakat islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang
mengalami kesulitan ekonomi. Dibanding amal sedekah yang sering dikeluarkan
umat islam kepada mereka yang kurang beruntung, sesunguhnya lebih mudah
mengestimasi zakat, satu kewajiban pembayaran transfer yang paling penting di
negara muslim. Kini sedang diupayakan mengukur pendapatan dari zakat sebagai
variabel kebijakan didalam pengambilan keputusan di bidang sosial dan ekonomi,
sebagai bagian dari rancangan untuk mengentaskan kemiskinan. Pendayagunaan
peran zakat untuk mengatasi masalah kemiskinan. Pendayagunaan peran zakat untuk
mengatasi masalah kemiskinan dinegara-negara muslim kini tengah menjadi agenda
negara-negara tersebut.
C.
Konsep Pendapatan Nasional dalam Perspektif
Islam
Dalam
perhitungan ekonomi Islam terdapat prinsip yang harus dipegang teguh dalam
perhitungan pendapatan nasional, yaitu:
1. Pendapatan nasional harus
menggambarkan pendapatan masyarakat yang sesuai dengan penyebaran penduduk.
2. Pendapatan Nasional perkotaan dan
pedesaan harus dapat dibedakan, karena secara jelas produksinya tidak dapat
disamakan.
3. Pendapatan Nasional harus dapat
mengukur secara jelas kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya
Satu hal yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan
sistem ekonomi lainnya adalah penggunaan parameter falah.
Falah adalah kesejahteraan yang hakiki,
kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dimana komponen-komponen rohaniah masuk ke
dalam pengertian falah ini.
Al- Falah dalam pengertian Islam mengacu
kepada konsep Islam tentang manusia itu sendiri. Dalam Islam, esensi manusia
ada pada rohaniahnya. Karena itu, seluruh kegiatan duniawi termasuk dalam aspek
ekonomi diarahkan tidak saja untuk memenuhi tuntutan fisik jasadiyah melainkan juga memenuhi kebutuhan rohani manusia.
Konsep ekonomi kapitalis yang hanya mengukur
kesejahteraan berdasarkan angka GNP, jelas akan mengabaikan aspek rohani umat
manusia. Pola dan proses pembangunan ekonomi diarahkan semata-mata untuk
meningkatkan pendapatan perkapita. Ini akan mengarahkan manusia pada konsumsi
fisik yang cenderung hedonis sehingga menghasilkan produk-produk yang dilempar
ke pasaran tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi aspek kehidupan lain.
Cara berfikir semacam ini akan membawa umat manusia
kedalam situasi berlakunya hukum rimba, yakni siapa yang kuat dialah yang
akan menang (survival of the fittest). Maka dari itu, selain harus memasukkan
unsur falah dalam menganalisis kesejahteraan, penghitungan pendapatan
nasional berdasarkan Islam juga harus mampu mengenali bagaimana interaksi
instrumen-instrumen wakaf, zakat, dan sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan
umat.
Ekonomi Islam harus mampu menyediakan suatu cara untuk
mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem
moral dan sosial Islam. Setidaknya ada 4 hal yang semestinya bisa diukur dengan
pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi Islam, sehingga tingkat
kesejahteraan bisa dilihat secara lebih jernih dan tidak bias. Adapun hal 4
tersebut adalah:
1.
Pendapatan nasional harus dapat mengukur penyebaran pendapatan individu rumah tangga.
2. Pendapatan nasional harus dapat
mengukur produksi di sektor pedesaan.
3. Pendapatan nasional harus dapat
mengukur kesejahteraan ekonomi Islam.
4. Penghitungan pendapatan nasional
sebagai ukuran dari kesejahteraan sosial Islami melalui pendugaan nilai
santunan antarsaudara dan sedekah.[2][2]
Adapun sumber-sumber pendapatan nasional dalam ekonomi
Islam antara lain:
1.
Ghanimah
Secara etimologi berasal dari kata ghanama-ghanimatuh yang berarti
memperoleh jarahan ‘rampasan perang’. harta ini adalah harta yang didapatkan
dari hasil peperangan dengan kaum musyrikin. Yang menjadi sasarannya adalah
orang kafir yang bukan dalam wilayah yang sama (kafir dzimmi), dan harta yang
diambil bisa dari harta yang bergerak atau harta yang tidak bergerak, seperti:
perhiasan, senjata, unta, tanah, dll. Untuk porsinya 1/5 untuk Allah dan
Rasulnya, kerabat Rasul, anak yatim, dan fakir miskin, dan ibn sabil, dan 4/5
untuk para balatentara yang ikut perang. Kemudian sisanya disimpan di Baitul
Mal untuk didistribusikan kemudian.[3][3]
2. Shadaqah
Secara etimologi adalah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar, pembuktian,
dan syahadat (keimanan) yang diwujudkan dengan bentuk pengorbanan materi. Menurut
Ibn Thaimiyah shadaqah adalah zakat yang dikenakan atas harta kekayaan muslim
tertentu.
3. Infaq
Infaq diambil dari kata anfaqa
yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut
literature yang lain infaq berarti
mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan untuk satu kepentingan yang
diperintahkan ajaran Islam. Dalam infaq tidak
mengenal yang namanya nisab, asnaf,
dan subjeknya, artinya orang kafirpun bisa mengeluarkan infaq yang dialokasikan
untuk kepentingan agamanya. Infaq ini boleh diberikan kepada siapa saja dan
berapa saja. Untuk ruang lingkupnya infaq lebih luas daripada zakat yang mana
hanya untuk orang muslim saja.
4. Zakat
Kata zakat berasal dari kata zaka (menumbuhkan), ziadah
(menambah), barakah (memberkatkan), thathir
(menyucikan), dan an-nama (berkembang). Adapun menurut syara’ zakat adalah hak yang telah ditentukan
besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu dan pada orang-orang
yang tertentu pula dengan catatan harta tersebut adalah milik penuh seseorang,
mencapai hawl, dan nisabnya, dalam hal ini zakat dikenakan kepada harta
bukan kepada jiwa (jizyah). Di antara
objek zakat itu adalah: binatang
ternak (unta, sapi, kerbau, dan kambing), emas dan perak, biji-bijian (beras, jagung,
dan gandum), buah-buahan (kurma dan anggur saja), harta perniagaan sama seperti
syarat-syarat yang telah disebutkan dalam zakat emas dan perak, dll
5. ‘ushr
‘Ushr oleh kalangan ahli fiqh disebut
sepersepuluh yang dalam hal ini memiliki dua arti. Pertama, sepersepuluh dari
lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Kedua, sepersepuluh diambil
dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah Islam dengan membawa barang
dagangan. ‘Ushr diwajibkan hanya
ketika ada hasil yang nyata dari tanahnya. Tanah yang sudah diwakafkan tetap
diperlakukan sebagai tanah ‘ushr jika
pemilik sudah menanami tanah tersebut. Yang termasuk kedalam harta ‘ushr adalah hasil pertanian dan
perkebunan (buah, madu, dll.). Untuk hasil pertanian yang diairi dengan sumber
alami (hujan, sumber air, dan arus) maka ‘ushr porsinya 10%, apabila pengairan
tersebut masih menggunakan ala-alat produksi lain (alat irrigasi, sumur, dll)
maka ‘ushrnya adalah 5%, dan untuk pengambilan ‘ushr ini adalah apabila sudah
panen.
6. Kharaj
Secara harfiah kharaj berarti kontrak, sewa-menyewa
atau menyerahkan. Dalam terminologi keuangan Islam kharaj adalah pajak atas
tanah atau hasil tanah. Yang mana diambil dari tanahnya orang non-muslim yang
sudah ditaklukan dan tanah tersebut sudah diambil alih orang muslim. Dengan
keringanan dari orang Islam maka non-muslim tersebut masih bisa menguasai
tanahnya untuk bercocok tanam yang hasilnya akan dibagi 50%-50% antara non-muslim dan orang Islam.
7. Pajak tambang dan harta karun
Pajak tambang ini yang hasilnya keras seperti emas,
perak, besi, dll. atau harta karun yang ditemukan di wilayah orang Islam, maka
seperlima (1/5) harus diserahkan kepada negara untuk memenuhi keadilan sosial.
8. Waqaf
Wakaf secara harfiyah berarti berhenti, menahan,
atau diam. Dalam hukum Islam wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang
tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa
perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan
sesuai dengan syariat Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendapatan
Nasional (national income) merupakan
tolak ukur yang paling baik untuk menunjukkan keberhasilan dan kegagalan
perekonomian suatu negara, dari tingkat kesempatan kerja, tingkat harga barang,
dan posisi neraca pembayaran luar negeri, serta pendapatan per kapitanya.
Pendapatan Nasional dapat
diartikan sebagai jumlah barang dan jasa yang dihasilkan suatu Negara pada
periode tertentu biasanya 1 tahun. Istilah yang terkait pada pendapatan
nasional antara lain, Produk Domestik Bruto (gross domestic product/ GDP),
Produk Nasional Bruto (Gross Nasional Product/GNP), serta Product Nasional Neto
(Net Nasional Product/ NNP).
Di kalangan masyarakat
Indonesia hanya mengenal Pendapatan Nasional yang diterapkan dalam ilmu ekonomi
konvensional yang dapat dihitung dengan menggunakan angka GNP (Gross
National Product), namun masyarakat Indonesia belum mengetahui bagaimana
perhitungan pendapatan nasional dalam perspektif ekonomi islam. Masyarakat juga
belum mengetahui apa perbedaan antara perhitungan pendapatan nasional
konvensional dengan pendapatan nasional dalam perspektif islam.
Hal yang membedakan pendapatan
nasional konvensional dengan pendapatan nasional dalam perspektif islam adalah
penggunaan parameter falah. Falah adalah kesejahteraan hakiki, kesejahteraan
yang sebenar-benarnya, dimana komponen-komponen rohaniah masuk ke dalam
pengertian falah ini.
System Perekonomian yang ada
di Indonesia begitu banyak, sehingga perlu adanya kebijakan-kebijakan. Apabila
suatu kegiatan usaha ekonomi yang kita lakukan tentu ada hal-hal yang harus
kita penuhi. Perekonomian suatu negara ada pembagian dua system, perekonomian
tertutup dan terbuka. Dalam perekonomian tertutup juga dikenal dengan kebijakan
pemerintah atau tanapa kebijakan pemerintah. Dan dalam hal ini kita akan
membahas mengenai Perekonomian tertutup tanpa kebijakan pemerintah.
B.
Saran
Dengan penjelasan yang dapat penulis jabarkan, semoga
bermafaat untuk kita semua. Besar harapan penulis kepada para pembaca untuk
dapat memahami dan mampu untuk mengaplikasikannya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Mustafa Edwin. 2010. Pengenalan
Eksklusif: Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.
Mardani. 2012. Fiqih Ekonomi Syariah.
Jakarta: Kencana.
Nordhaus. D William dan Samuelson A. Paul. 1992. Makro Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar